Menurut Koentjaraningrat yang telah dikuti oleh Idianto Muin kebudayaan berasal dari kata Sanksekerta buddayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi (Idianto Muin, 2006: 133). Koentjaraningrat mengacu pada pendapat Kluckhohn yang menggolongkan unsur pokok kebudayaan yang terdiri dari: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Idianto Muin, 2006: 133-134).
Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang tedapat dalam masyarakat. Kesenian sendiri dibedakan atas kesenian modern dan tradisional, dimana kesenian tradisional masih dibagi lagi menjadi kesenian istana dan rakyat. Kesenian tradisional yang hingga kini masih menunjukkan eksistensinya (khususnya di Yogyakarta) yakni seni tari, karawitan, batik, wayang, dan beberapa kesenian lainnya. Tentunya kesenian-kesenian tadi harus dapat kita berdayakan sehingga dalam kegiatan berkesenian (tradisional) tidak semata-mata untuk melesetarikan keberadaannya saja, akan tetapi juga dapat menjadi pendongkrak perekonomian masyarakat.
Yogyakarta sebagai kota budaya telah lama melirik celah ini untuk kemudian dimanfaatkan menjadi salah satu penopang perekonomian daerah. Banyak pihak berusaha mengemas kesenian tradisional dengan rasa global yang dapat diterima wisatawan baik lokal maupun mancanegara tanpa meninggalkan nilai-nilai fundamental yang terkandung di dalam seni itu sendiri. Salah satu yayasan yang menjadi pelopor dan aktif berusaha mengangkat kesenian tradisional adalah Retno Aji Mataram.
Retno Aji Mataram adalah salah satu yayasan yang bekomitmen mengembangkan seni dan budaya yang dipimpin oleh K.R.T. Sunaryadi Maharsiwara berdomisili di Gedongkiwo Yogyakarta. Dalam penyelengaraan kegiatannya Retno Aji mataram menggalang kerja sama dengan Departemen Luar Negeri (sekarang Kementerian Luar Negeri Republik Indonsia) merintis dibukanya pelatihan seni tari, karawitan, pedalangan, batik, dan bahasa Indonesia yang diikuti oleh perwakilan dari Negara-negara Asia pasifik (Australia, Selandia Baru, Papuanugini, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Kamboja). Para peserta bertempat tinggal (kos) di rumah penduduk sekitar Yayasan, sehingga dapat menyelami kehidupan masyarakat Yogyakarta secara nyata. Mereka dilatih dan dididik selama tiga bulan, diberikan paket pelatihan yang praktis dan dapat dipentaskan/dipamerkan setelah dilatih selama tiga bulan. Pelatihan ini bertujuan agar para siswa yang telah mendapatkan pelatihan, setelah kembali ke negaranya dapat menyebarluskan kemampuan dan pengetahuannya. Program yang dirintis tahun 2004 ini diselenggarakan Retno Aji Mataram selama tiga tahun. Untuk keberlanjutannya hingga kini diselenggarakan oleh Taman budaya Yogyakarta. Program ini sangat efektif dan optimal. Dengan jadwal yang padat, secara substansional mereka dapat menguasai keterampilan dengan baik, dan dengan bertempat tinggal di rumah-rumah penduduk mereka akan dapat menghayati kehidupan orang Jawa Yogyakarta seutuhnya.
Selain itu saat ini Pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta tengah mengupayakan untuk menjadikan Kotagede sebagai salah satu potensi wisata. Bekerjasama dengan pihak-pihak terkait dan tentunya masyarakat Kotagede, pemerintah berusaha mengubah wajah Kotagede sekarang menjadi lebih tertata dan indah, dengan mengangkat kekhasan Kotagede yang pada masa Kerajaan Mataram Islam merupakan ibukota yang termahsyur.
Apabila program semacam ini ditangani dan dikembangkan dengan baik, diplomasi budaya dengan luar negeri akan semakin intens dan sangat besar pengaruhnya bagi pariwisata di Indonesia umumnya dan Yogyakarta khususnya, karena dengan semakin banyaknya orang asing yang mempelajari, memahami, dan menghayati budaya Indonesia, serta semakin positifnya image mereka terhadap budaya Indonesia akan semakin jatuh cinta terhadap Indonesia.